Blogger

Saturday 26 November 2016

Berbenah atau Mati suri

Bukan Dinasaurus Bisnis di Era Digital Suasana hening dan mencekam ketika CEO Nokia Stephen Elop mengumumkan dalam konferensi pers bahwa Nokia harus diakuisisi oleh microsoft. Kalimatnya pendek, "We didn’t do anything wrong but somehow, we lost", Tapi penuh makna dan membuat seluruh jajaran direksi nokia menitikkan air mata. Ya Nokia memang tidak melakukan kesalahan apa apa. Sebagai pemain terbesar di industri telepon selular, Nokia memiliki pangsa pasar lebih dari 35% pada tahun 2006-2009. Visi dan misinya jelas sebagai pemain dunia yang mengandalkan "individual communication experience". Strateginya bening, inovasinya pun bagus. Ini tercermin dari anggaran research and development (R&D) yang mencapai 12% dari total sales, yang merupakan angka yang memang wajar dalam industri telekomunikasi kelas dunia. Lalu apa yang salah dengan Nokia? Pendahulunya Elop, yaitu Olli Pekka Kalllasvuo yang menjadi CEO Nokia sejak tahun 2006 ketika Nokia mencapai puncak kejayaanya menjelaskan bahwa dalam sejarah dunia bisnis, belum pernah terjadi perubahan yang sedemikian luar biasa. Tidak ada seorangpun yang mampu meramalkan perubahan yang akan terjadi dalam 5 tahun mendatang. Visi, misi dan strategi yang bagus terrnyata tidak cukup untuk memenangkan sebuah persaingan. Munculnya pemain baru yang "Disruptive" dalam hal ini adalah Blackberry, membuat Nokia kehilangan posisi strategisnya di mata pelanggan. Keunikan yang ditawarkan Nokia seolah menjadi usang ketika dihadapkan pada tawaran keunikan baru oleh Blackberry yang mengusung platform Blackberry Messenger. Blackberry sendiri juga akhirnya tidak mampu bertahan lama dan tergilas oleh perubahan, bahkan dalam kurun waktu yang lebih pendek. Samsung dengan sistem Androidnya dan Apple langsung membuat Blackberry runtuh. Walkman Sony berjaya pada tahun 1990-an sampai 2001, Walkman merajai industri alat pemutar musik analog yang portabel. Produsenya adalah Sony, yang tidak hanya memproduksi perangkat kerasnya saja, bahkan memliki perangkat lunaknya yaitu Sony Music Entertainment. Boleh dikatakan walkman Sony memonopoli industry tersebut dengan pangsa pasar kebih dari 90 %. Pergeseran media penyimpan dari kaset menjadi compact disc tidak memengaruhi dominasi Sony. Dengan segera dikenal produk Discman dari Sony yang kembali merajai pasar. Kemunculan teknologi digitasl awalnya diabaikan oleh Sony. Apalagi dengan kegagalan alat pemutar digital pertama kali merk RICO yang diluncurkan pada tahun 1999. Pada tahun tersebut, untuk mengunduh sebuah lagu dalam format MP3 membuthkan waktu 27 jam akbiat masih lambatnya komunikasi internet. Tentu saja hal ini menyulitkan bagi pengguna untuk mengunduh sebuah lagu. Sebagai pemain terbesar, Sony menganggap bahwa industri tidak akan mengalami perubahan drastis selama sang raksasa tetap bertahan. Sony memutuskan untuk tetap bertahan bahwa apabila bergeser ke digital, maka akan terjadi pelanggaran terhadap hak cipta lagu yang diciptakan akibat mudahnya sebah file digital untuk dicopy. Hal ini menyebabkan kanibalisasi bisnis perangkat lunaknya. Sony yakin akan tetap didukung oleh 'pemasoknya' yaitu para artis penyanyi yang tentu saja akan berkeberatan bila lagunya akan dibajak dan dicopy tanpa membayar royalti. Sony juga yakin kualitas discman jauh lebih bagus dibandingkan dengan alat pemutar lagu digital yang menggunakan format file MP3. Masuknya Apple dengan produk Ipod pada tahun 2001 merubah tatanan industri. Apalagi sejak Apple meluncurkan Itunes pada tahun 2003 yang sangat memudahkan konsumen untuk mengunduh sebuah lagu. Kebetulan saat itu teknologi internet sudah jauh lebih maju, hanya dibutuhkan waktu kurang 4 menit untuk mengunduh sebuah lagu dalam format MP3. Sungguh ironi bahwa raksasa yang sudah menguasai industrinya selama bertahun-tahun bisa dikalahkan oleh pemain baru (Apple adalah pemain yang sama sekali baru dalam industri musik saat itu), bahkan dengan kualitas produk yang lebih jelek (format MP3 dibandingkan dengan format disc) dan dengan harga yang lebih mahal. Sebagai produk baru, IPOD mendapat sambutan yang bagus dari para penggunanya. Orang jadi tidak perlu lagi membeli kaset atau disc yang isinya antara 10 lagu atau 14 lagu . Dengan Ipod, orang hanya perlu membeli lagu yang disukainya dengan harga yang jauh lebih murah. Dari sisi kepraktisan, Ipod versi awal sudah mampu menampung sekitar 200 lagu yang setara dengan hampir 150-200 kaset atau compact disc. Para penyanyi ternyata mendukung kemunculan Ipod karena mereka juga diuntungkan dengan tidak harus menunggu berbulan-bulan menciptakan minimal 10 lagu untuk membuat sebuah album musik. Mereka bisa memasarkan lagunya secara bertahap. Tidak dibutuhkan waktu lama bagi Ipod untuk menggusur dominasi Sony. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah perusahaaan sebesar Sony tidak mampu menciptakan alat pemutar musik digital dengan merk sony yang saat itu jauh lebih terkenal dibandingkan Apple? Tentu saja bisa, tetapi kelembaman organisasi (inersia organisasi) membuat Sony enggan untuk berubah. Ketika Sony menyadarai bahwa dunia sudah berubah semuanya sudah terlambat. Pasar sudah menemukan mainan baru yang tidak mudah digantikan. Sang dinosaurus pun terpaksa harus punah. Dalam industri transportasi penumpang perkotaan di Indonesia, fenomena yang mirip juga terjadi. Bluebird dan taksi express yang sudah menguasai industri ini berpuluh tahun, mulai digoyang oleh pemain baru yang masuk. Kalau menganut peta persaingan tradisional, rasanya tidak mungkin ada yang mampu menggoyang kemapanan kedua raja di dunia taksi. Sumber daya strategis yang menjadi keunggulan bersaing dalam industri taksi yang sekaligus merupakan komponen investasi terbesar adalah jumlah armada dan perijinan. Keduanya sulit untuk dikalahkan oleh para pesaing tradisional yang baru masuk. Bluebird memiliki jumlah armada mendekati 40.000 unit sementara Express sebagai saingan terdekatnya memilki hampir 10.000 unit armada. Keduanya, terutama Bluebird, juga memiliki citra yang sangat bagus di mata pelanggan, terutama dalam hal keamanan. Banyak pemain kecil baru yang mencoba memasuki industri ini, terpaksa terpinggirkan oleh dominasi kedua raksasa ini. Tanpa disangka, hanya dalam kurun waktu dua tahun terakhi, kemapanan keduanya terusik oleh pemain baru, yang bahkan tidak memiliki sumber daya strategis yang selama ini menjadi sumber keunggulan bersaing. Uber dan Grabcar pada hakikatnya adalah hanya sebuah aplikasi digital yang tidak memiliki armada sama sekali. Akibatnya dalam waktu pendek kedua pemain baru ini berhasil merebut pangsa pasar yang selama ini dikuasai oleh pemain tradisional. Bukan hanya menawarkan harga yang jauh lebih murah, keduanya bahkan "merampok" predikat "aman dan nyaman" yang selama ini identik dengan layanan Bluebird. Bahkan keduanya juga menawarkan pengalaman baru (new experience) bagi penumpang, yang sebagian besar tidak memiliki supir pribadi, untuk bekendara seolah memiliki mobil dan supir pribadi. Kata kuncinya adalah inovasi. Pertama inovasi pada value offering, yaitu dengan menggunakan aplikasi online yang user friendly dan memang sedang menjadi tren saat ini. Dengan aplikasi yang mudah digunakan ini, penumpang bisa memperkirakan ongkos angkut yang harus dibayarkan, bahkan termasuk estimasi waktu tempuh dan rutenya. Ini menghilangkan faktor ketidak pastian dan menigkatkan "rasa aman" dalam mengunakan jasa taksi online. Kedua adalah inovasi pada rantai nilai (value chain) perusahaanya dengan mengalihkan komponen biaya terbesar dalam industri taksi kepada pihak lain, yaitu pengemudi sehingga mampu menawarkan tarif angkut yang jauh lebih murah. Keberhasilan Uber dan grabcar dalam industri taksi, serta kemunculan banyak sekali market place yang menawarkan layanan e-commerce, sering disalah pahami oleh para entrepreneur start-up yang tergiur oleh peluang bisnis yang luar biasa ini. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan memiliki aplikasi online saja bisa meningkatkan penjualan secara luar biasa. Ini jelas pemahaman yang keliru. Benar bahwa aplikasi online bisa mendorong penjualan. Tetapi penjualan online harus mampu menciptakan nilai tambah baru, yaitu efisiensi melaui pemangkasan rantai pasok dari produsen langsung ke konsumen, sehingga bisa menjual dengan harga yang lebih kompetitif. Satu hal lagi yang bisa kita pelajari dari kasus Uber adalah terus berinovasi. Salah satu contoh inovasi luar biasa yang sedang dirancang oleh Uber di Jerman adalah dengan negosiasi untuk membeli 100.000 unit armada Mercedes S-Class (walaupun ini bertentangan dengan konsep perusahaan merek didirikan) yang akan dimodifikasi menjadi auto drive taxi. Pilihan strategi ini diambil mengingat di Jerman komponen biaya terbesar dalam industri taksi bukan pada kendaraan dan perawatanya, tetapi pada komponen biaya pengemudi itu sendiri. Dengan auto drive taksi Uber kembali bisa memangkas biaya perusahaanya sehingga mampu menawarkan jasanya lebih kompetitif. Sekaligus ini menawarkan pengalaman baru bagi pelangga untuk menaiki kendaraan yang dikemudikan oleh robot. Tanpa inovasi terus menerus, Uber akan jadi Dinosaurus yang punah diterpa zaman. How to compete with this start-ups Gebrakan usaha-usaha rintisan yang mengerogoti para petahana seolah tidak menyediakan ruang gerak sama sekali bagi petahana. Keunikan yang berharga selama ini menjadi sumber keunggulan bersaing petahana seolah langsung tampak usang. Lalu yang menjadi pertanyaan dasar adalah bagaimana strategi bersaing yang harus dijalankan oleh petahana dalam menghadapi serangan usaha para rintisan. Menggunakan pendekatan RBV (Resourced Based View) yakni keunggulan bersaing perusahan bukan berasal dari persepsi pelanggan terhadap perusahaan, tetapi berasal dari dalam perusahaan. Keunggulan ini berupa kombinasi sumber daya unik, dimana tidak semua sumber daya akan bisa menjadi sumber keunggulan bersaing perusahaan. Hanya sumber daya yang bersifat VRIN, yaitu Valuable (berharga), Rare (jarang yang memiliki), In-imitable (susah untuk ditiru) dan Non-substituable (tidak mudah digantikan) yang mampu membedakan satu perusahaan dengan perusahaan lain dan menjadi sumber keunggulan bersaing. Hanya perusahaan yang memiliki sumber daya dengan keempat karakteristik tersebutlah yang akan memilki keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Dalam sebuah industri, biasanya petahana memilki pangsa pasar yang dominan, sekaligus juga memiliki kombinasi sumber daya yang jauh lebih lengkap. Hal pertama yang harus dilakukan oleh petahana adalah tanggap terhadap perubahan lingkungan eksternal. Menurut Jagdish Shet (2007) dalam bukunya yang berjudul "Self Destructive habits of Good Companies", keengganan untuk berubah ini terkenal dengan nama kelembaman organisasi (organisation inertia). Perusahaan yang sudah besar dan mendominasi pasar biasanya kehilangan kelincahan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Padahal perubahan lingkungan bisa membuat kombinasi sumber daya yang tadinya bersifat VRIN bisa menjadi kehilangan keunikanya. Yang paling menarik adalah karakteristik keempat dari kombinasi sumber daya, yaitu non-substituable. Kemajuan teknologi dan perubahan lingkungan membuat usaha usaha rintisan yang mengandalkan aplikasi mampu mendobrak kemapanan dengna melakukan subtitusi atas kombinasi sumber daya yang dimiliki oleh petahana yang mustahi untuk ditiru dalam waktu dekat. Memang sumber dayanya tidak bisa ditiru tetapi disubstitusi atau digantikan dengan sumber daya lain. Kombinasi sumber daya yang dimiliki dan dikembangkan perusahaan itu bersifat ketergantungan pada investasi sebelumnya (Path Dependent). Artinya kapabilitas sumber daya yang dimiliki saat ini pada hakikatnya adalah akumulasi dari sumber daya yang sudah dilakukan oleh perusahaan di masa masa sebelumnya. Walaupun sumber daya dan strategi keduanya sudah kelihatan "gamblang" tetapi sebenarnya banyak pengetahuan yang tidak tergambarkan dengan sempurna sehingga tidak mudah untuk ditiru (Causal Ambiguity). Kombinasi sumber daya pada hakikatnya saling terrkait dan terbangun dri hubungan antar aktor dilingkunganya (Socially Complex). Inilah yang paling menyulitkan untuk meniru sumber daya tersebut. Ketiga alasan ini harusnya disadari oleh petahana agar terus melakukan akumulasi dan mengembangkan kombinasi sumber dayanya. Ada tiga konsep yang bisa digunakan sebagai strategi bersaing bagi petahana. Konsep pertama adalah konsep Core Competence (Shaping the industry) yang dikemukakan oleh Prahalad dan Hamel (1990) dalam bukunya yang berjudul "Competing For the Future". Dalam konsep ini perusahaan perlu membangun kapabilitas untuk melakukan foresight bukan sekedar forecast. Forecast adalah kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, lalu membangun skenario untuk masing-masing kemungkinan yang terjadi. Foresight lebih dari itu, yaitu kemampuan mempengaruhi agar ramalan yang dihasilkan benar benar terjadi dengan mempengaruhi lingkungan atau aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Dengan memilki kapabilitas foresight maka perusahaan petahana mampu untuk menentukan arah perkembangan industri. Tentu saja kemampuanini hanya bisa dilakukan oleh petahana yang dominan di industrinya. Dengan kata lain ini hanya bisa dilakukan oleh raksasa raksasa yang tidak tidur dan terlena. Konsep kedua yang ditawarkan adalah konsep kapabilitas dinamik (Dynamic Capability) dimana perusahaan harus senantiasa mencermati perubahan yang terjadi di lingkungan dan sesegera mungkin menyesuaikan kombinasi sumber daya yang dimilkinya. Memahami dan menyadari adanya perubahan yang terrjadi dilingkunganya, memiliki motivasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dan melakukan perubahan tersebut. Perusahaan tidak boleh terlambat. Konsep ketiga yang digunakan adalah konsep orkestrasi sumber daya (Resource Orchestration) dimana perusahaan harus mampu melakukan orkestrasi terhadap kombinasi sumber daya yang dimilikinya. Salah satu kemampuan untuk pengembangan kapabilitas dalam oorkestrasi sumber daya adalah pioneering. Dalam hal ini perusahaan harus mampu menjadi yang pertama dalam memiliki kapabilitas tersebut. Menjadi yang terdepan bukan berati semuanya harus dikembangnkan sendiri, tetapi bisa juga dilakukan kolaborasi dengan pihak lain atau bahkan melakukan investasi di perusahaan perusahaan rintisan yan memiliki keunggulan teknologi. Banyak pilihan strategi yang bisa diambil oleh petahana untuk mempertahankan keunggulan bersaingnya. Semua berpulang kepada kemauan perusahaan untuk menyesuaikan diri. Raksasa yang tidak tidur akan susah dikalahkan oleh pemain baru.

No comments:

Post a Comment